Press release DIKSI – Kasus Pembebastugasan Apoteker
Apoteker merupakan suatu profesi di bidang kesehatan yang bergelut di bidang obat-obatan. Selain sebagai penjaga apotek dan melayani pembelian obat, apoteker juga bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan obat seperti pembuatan, distribusiserta penyimpanan obat. Karena sebagai seorang apoteker, merupakan sebuah profesi yang telah memiliki sumpah akan kode etik yang harus mereka jaga dan jalani selama ia menekuni profesi tersebut.
Selama tahun 2019 ini telah terjadi berbagai kasus yang melibatkan apoteker sebagai tersangkanya. Mulai dari pengedaran obat palsu hingga pemberian obat kadaluwarsa kepada pasien. Isu yang paling baru adalah ketika seorang apoteker puskesmas kelurahan Kamal Muara, DKI Jakarta, memberikan sebuah vitamin yang tanggal kadaluwarsanya adalah satu hari setelah pemberian obat tanpa sepengetahuan pasien. Bermula ketika Ny. N datang sebagai pasien Puskesmas Kelurahan Kamal Muara untuk melakukan pemeriksaan kandungan dengan keluhan mual dan tidak selera makan. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Bidan Puskesmas, Ny. N mendapatkan sebuah resep untuk mengurangi keluhan yang dirasakan, terdiri atas Vitamin B6, B12, Asam Folat dan Kalsium. Namun setelah dikonsumsi, vitamin B6 (Pyridoxine) yang didapat telah kadaluwarsa setelah terkonsumsi 2 tablet. Setelah mendapatkan pengaduan dari pihak terkai dilakukanlah pengusutan mengenai hal tersebut, puskesmas tersebut sebenarnya telah memiliki SOP yang mengatur tentang distribusi dan penyimpanan obat. Namun pada kenyataannya kasus ini masih terjadi pada salah satu pasien yang teliti terhadap obat yang mereka terima. Setelah dilakukan pemeriksaan, kondisi pasien dinyatakan dalam keadaan sehat pasca konsumsi obat tersebut. Sebagai sanksinya, apoteker yang bersangkutan dibebastugaskan dari profesinya sebagai apoteker oleh dinas kesehatan setempat.
Tidak hanya kelalaian apoteker, namun juga terdapat kasus yang mana sengaja dilakukan oleh apoteker untuk meraup keuntungan tersendiri. Seperti halnya kasus yang terjadi Bengkulu pada akhir tahun kemarin. Kasus ini mengungkap seorang apoteker yang diduga telah mengedarkan sediaan farmasi berupa krim wajah tanpa memiliki ijin edar. Semula pelaku hanya membuat sediaan tersebut untuk karyawannya, namun karena mendapat hasil positif dari beberapa pengguna akhirnya pelaku mulai memperjual belikan produk racikannya itu. Mengethaui hal tersebut, ia telah dibekuk oleh pihak kepolisian dan di jerat pasal 197 jo pasal 106 ayat 1 undang undang republik indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Berdasarkan hasil DIKSI, tanpa mengesampingkan sebuah tanggung jawab sebagai seorang apoteker, diperlukan juga sebuah support dan koordinasi dari pemerintah serta organisasi yang menaungi profesi tersebut. Pemerintah yang dimaksud disini adalah dinas kesehatan. Sebagai pengkoordinasi dan pembina UPTD, dinas kesehatan harus bisa lebih Kasus-kasus yang menimpa apoteker tesebut sejatinya telah melanggar kode etik seorang apoteker. Kelalaian dan tidak disiplinnya seorang apoteker tidak menunjukkan sebuah istilah 9 stars pharmacist yang mana menggambarkan peran secara menyeluruh sebagai seorang farmasis. Dalam menyikapi hal tersebut kita sebagai mahasiswa farmasi harus menanamkan sejak dini jiwa dari 9 stars pharmacist dalam lehidupan sehari-hari. Memang bukanlah hal mudah bagi kita dalam menerapakan sifat berupa Care-Giver, Decision-Maker, Communicator, Manager, Leader, Life-Long Learner, Teacher, Research dan Entrepreneur. Namun sebagai seseorang yang telah bersumpah akan profesinmya haruslah dapat menerapkan hal tersebut. Bagi mereka yang berani melanggar harus berani untuk menerima konsekuensi yang akan diberikan. Karena itulah sebagai seorang apoteker, mereka harus bisa memegang teguh sumpah tersebut karena obat merupakan suatu hal yang berbahaya bila tidak diberikan dengan tepat dan dapat memberikan manfaat yang dibutuhkan bila diberikan dengan baik.
Narasumber :
Antonius
Nugraha Widhi P., S.Farm., M.P.H., Apt.