Perlukah Moratorium S1 Farmasi ? (Press release Diksi, April 2018)
Moratorium S1 farmasi adalah pemberhentian sementara pembukaan program studi S1 farmasi baru yang ada di indonesia saat ini. Rencana moratorium s1 farmasi didasarkan pada data jumlah s1 farmasi yang mencapai 128 program studi pada tahun 2014 yang terdiri dari 128 program studi hanya 14 prodi yang berakreditasi A, 32 prodi berakreditasi B dan 32 prodi berakreditasi C dan 50 prodi yang belum terkareditasi. Hanya berselang 2 tahun saja jumlah s1 farmasi pada februari 2016 telah mencapai 174 prodi dengan 14 prodi yang berakreditasi A, 32 prodi berakreditasi B dan 32 prodi berakreditasi C dan 96 prodi yang belum terkareditasi. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan program studi s1 farmasi mencapai 100% dalam 2 tahun saja. Hal ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) dari maret 2016 hingga februari 2018 jumlahnya hanya bertambah dari 29 menjadi 38 PSPA saja atau dengan kata lain hanya mengalami pertumbuhan 31,57 % saja. Hal ini tentu membuat APTFI menyatakan keberatan terhadap pembukaan prodi farmasi tanpa mendapat persetujuan serta rekomendasi dari APTFI. Kemenristek Dikti seolah – olah hanya mengejar kuantitas saja tanpa melihat kualitas dari para lulusan yang dihasilkan, ditambah dengan jumlah lulusan s1 farmasi yang tidak sebanding dengan jumlah PSPA yang ada saat ini yang menyebabkan banyak lulusan S1 farmasi yang kesulitan untuk melanjutkan pendidikan ke program profesi karena keterbatasan dari jumlah PSPA saat ini.
Berdasarkan hasil acara DIKSI (Diskusi Kajian Seputar Isu) yang diadakan oleh BEMF Farmasi pada hari jumat, 27 april 2018 beberapa peserta menyatakan kesetujuannya mengenai rencana moratorium s1 farmasi ini. Dengan tidak seimbangnya rasio PSPA dan program S1 farmasi dan kualitas Apoteker yang kurang, moratorium lebih baik dilaksanakan. Dengan memberhentikan sementara pembukaan S1 farmasi, perguruan tinggi yang telah mendirikan S1 farmasi dapat lebih meningkatkan kualitas lulusannnya. Membatasi pembukaan S1 Farmasi yang baru dapat membuat beberapa PT yang telah mendirikan S1 Farmasi sebelumnya fokus meningkatkan akreditasinya minimal menjadi B sehingga dapat membuka PSPA. Hal ini dapat meningkatkan jumlah PSPA. Dengan peningkatan kualitas lulusan S1 farmasi diharapkan apoteker –apoteker yang dihasilkan PSPA lebih berkualitas dan diterima di masyarkat.
Namun, beberapa peserta kurang setuju dengan adanya moratorium S1 Farmasi ini. International Pharmaceutical Federation dan WHO merekomendasikan negara berkembang salah satunya Indonesia agar memiliki rasio ideal 1 apoteker untuk 2.000 penduduk, namun kenyataannya Indonesia hanya memiliki rasio 1:4528 (2016) sehingga dapat dikatakan Indonesia masih sangat membutuhkan tenaga kesehatan yaitu apoteker. Dari rekomendasi WHO ini moratorium S1 Farmasi perlu dipertimbangkan lagi. Untuk mengatasi masalah kualitas apoteker dan jumlah PSPA yang kurang dapat dilakukan dengan memperbanyak jumlah Fakultas Farmasi yang ada PSPA dan S1 Farmasi yang di luar Jawa dengan tidak hanya melakukan sentralisasi di Jawa namun juga di luar dengan cara bertahap. Tidak hanya itu saja, pemerintah harusnya melakukan lobbying pada rumah sakit dan industri untuk lebih menerima apoteker lulusan PSPA dari luar pulau jawa dan membuat peraturan daerah mengenai pembentukan PSPA terfokus untuk suatu daerah yang kekurangan tenaga apoteker baik di bidang klinis atau industri. Solusi lain yaitu dengan menurunkan biaya peningkatan akreditasi yang selama ini memberatkan prodi S1 maupun PSPA. Tidak hanya peningkatan kualitas apoteker peningkatan kuantitas pun juga dibutuhkan karena di Indonesia sudah banyak kualitas apoteker yang bagus namun tidak terdistribusi secara merata karena perbedaan gaji antara apoteker di pulau jawa dan di luar jawayang menyebabkan apoteker dan s1 farmasi masih lebih terkonsentrasi di pulau jawa saja.